Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Selasa, 14 Juni 2011

Rasionalisasi dan Normalisasi Persepsi Nilai-Nilai Gamelan Jawa

"Ku tempa diriku menjadi gamelan, mungkin dia datang sebagai nayagan..."




Sejak memasuki Universitas Indoesia dan memilih mata kuliah MPKT seni pada semester-semester awal dulu, aku jatuh cinta dengan alunan gamelan. menurutku gamelan itu suaranya sangat mewah. Banyak filosofi yang terkandug di dalamnya....

Di abad kedua puluh satu ini utamanya manusia lebih meyorot pada perkembangan teknologi selain juga hal lain tergantung kecenderungan masyarakat tertentu untuk lebih condong pada permasalahan lainnya. Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam (Dikutip dari http://www.yogyes.com/en/yogyakarta-cultural-performance/gamelan-show). Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.Gamelan Jawa sesungguhnya memberikan sisi lain dari sebuah tema yang patut disoroti. Betapa gamelan Jawa saat ini berusaha untuk eksis ditengah maraknya musik alternatif.

Gamelan jawa adalah sebuah wujud eksistensi budaya Indonesia. Gamelan jawa merupakan salah satu corak atau jenis gamelan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa bagian Timur. Irama musik yang lembut dan mencerminkan keselarasan hidup orang Jawa akan segera menyapa dan menenangkan jiwa begitu didengar Keberadaan seni gamelan jawa ini bagi masyarakat Jawa memiliki nilai filosofis yang mengakar pada keindahan, seni kehidupan, dan spiritual. Sebab keindahan secara bahasa berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Seni merupakan persoalan nilai dan penilaian. Sementara nilai keindahan menurut Alexander Baumgarten (Jerman) adalah keseluruhan yang yang merupakan susunan yang teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, atau dengan keseluruhan itu sendiri. Sedangkan nilai spiritual memiliki hubungan dengan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan sakral, suci, dan agung (Hasyim, Husmiaty, dkk. Modul II MPKT, Akhlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok: 2007). Kaitan antara ekspresi seni yang ada di dalam alunan gamelan dengan keindahan dan spiritual termaktub dalam paradigma budaya yang lahir dalam masyarakat Jawa.

Nilai keindahan yang ada dalam alunan gamelan jawa tidak lepas dari unsur spiritual itu sendiri. Dalam masa perkembangan Islam di Jawa, gamelan merupakan sarana akulturasi antara nilai yang terkandung dalam pesan budaya dengan nilai Islam. Seni di manfaatkan sebagai media transformasi nilai agama dan pemahaman yang empirik, misalnya pada syair-syairnya. Nilai spiritual yang ada pada gamelan selama ini juga diidentikkan dengan kemistisan yang terkandung dalam perangkat gamelan dan misteri dari setiap alunan nadanya. Nilai spiritual merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa (Notonagoro, 1988). Segala hal yang berhubungan dengan mistis yang ada pada gamelan misalnya: perlunya membuat sesaji sebelum pementasan, larangan melangkahi perangkat gamelan, ataupun perlunya memandikan gamelan dalam waktu-waktu tertentu tidak hanya membutuhkan rasionalisasi, namun juga normalisasi persepsi.

Rasionalisasi tidak sama dengan normalisasi persepsi. Rasionalisasi lebih kearah pendapat yang saat ini cukup emansipatoris mencari pembenaran akan hal-hal yang berhubungan dengan nilai tertentu (mistis misalnya). Max Horkheimer dalam kritiknya terhadap masyarakat modern menyatakan bahwa usaha manusia modern untuk merasionalisasikan tatanan atau sistem sosial baru yang lebih baik dan efisien, ternyata telah menciptakan suatu bentuk irasionalitas baru yang menyebabkan berada pada kondisi “kesadaran palsu”. Sedangkan normalisasi persepsi akan tergantung pada sudut pandang seseorang.

Rasionalisasi dari penggunaan sesaji sebelum pementasan adalah rasionalisasi paling lemah, yaitu hanya meneruskan saja adat dan budaya tanpa ada maksud apapun di dalamnya. Rasionalisasi dari larangan melangkahi gamelan adalah takut kalau-kalau yang melangkahi nanti tersandung, jatuh, lalu merugikan diri sendiri bahkan juga “merugikan” perangkat (merusak). Rasionalisasi dari memandikan alat yang pada waktu tertentu adalah sangat sederhana: ya supaya bersih saja. Ini adalah upaya rasionalisasi yang dihubungkan dengan agama (dalih sebenarnya).

Ketika kita ingin menormalisasi persepsi kepada hal-hal yang terkait dengan kemistisan tadi, maka yang kita butuhkan adalah melalui kacamata apa kita melihat kemistisan tersebut. Misalnya dalam Islam. Rasionalisasi seperti apapun selama praktiknya masih saja berhubungan dengan hal-hal yang tidak ada dalam ajaran, maka itu membutuhkan normalisasi. Normalisasi persepsi disini berarti meluruskan akidah dan tidak melakukan apapun yang tidak perlu dilakukan. Dilihat dari kacamata pancasila, nilai gamelan yang lain akan berhubungan dengan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Dari sini permainan gamelan akan mencerminkan nilai demokratis. Dalam permainan gamelan terdapat perangkat-perangkat terciptanya demokratisasi. Kendhang sebagai pemimpin dan pengendali disini terdapat peran pengaturan yang dianalogikan sebagai eksekutif. Sementara gong sebagai tanda pemberhentian atau pengawasan terhadap jalannya permainan. Gong juga berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending, dianalogikan sebagai yudikatif. Sedangkan kenong adalah legislatif yang mewakili perangkat lainnya selain kedua alat tadi. Jika dilihat dari segi ini maka rasionalisasi dari pemberian sesaji sebelum permainan dimulai adalah “pesta rakyat” atau semacam hukum negara yang harus dilaksanakan karena itu merupakan ketetapan. Rasionalisasi dari larangan melangkahi perangkat gamelan berarti larangan melangkahi hak-hak rakyat. Sementara memandikan perangkat dalam waktu-waktu tertentu artinya membuat pembaruan pada komponen trias politica tadi. Jadi normalisasi persepsi dalam segi ini tidak ada hubunganya dengan rasionalisasi yang berhubungan dengan agama tadi. Persepsi lainnya dapat juga dilihat dari segi misalnya kesehatan. Irama gamelan bisa saja menjadi terapi untuk menenangkan diri karena alunannya yang lembut, tenang, namun juga tegas. Rasionalisasi dari pembersihan perangkat pada waktu tertentu adalah untuk membuat suasana menjadi lebih bersih, mungkin saja pada saat itulah perangkat menjadi sangat kotor karena berdarsarkan teori Florence Nightingale kesehatan dapat dicapai dalam lingkungan sekitar yang bersih dan sirkulasi udara yang baik.

Masyarakat yang sepertinya kurang peduli terhadap perkembangan seni tradisional termasuk pada gamelan jawa. Seni tradisional memang nampaknya sudah mengalami pemberhentian pada titik “ketradisionalannya” karena justru disitulah letak pembeda dari seni yang lainnya. Lalu kenapa harus terus dipertahankan? Bukankah banyak hal lain yang lebih penting menyangkut kemaslahatan manusia ketimbang memperhatikan gamelan? Ternyata ini kembali lagi pada kebutuhan dasar manusia akan keindahan dan menikmati seni. Pada dasarnya manusia membutuhkan keindahan untuk dinikmati.

Kaum intelektual dengan bangga menemukan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran baru yang sangat diapresiasi oleh masyarakat karena memecahkan permasalah kontemporer. Sementara lesunya geliat kaum muda terhadap seni tradisional dibenarkan karena dalih rasionalisasi sungguh ironis.seperti kemjuan yang dicapai oleh abad pencerahan dengan menghancurkan bentuk-bentuk rasionalitas mistis yang dianggap sebagai kemunduran. Kemajuan hanya dapat dipikirkan dan dianalisis dengan mengaitkannya dengan kemunduran yang ditimbulkannya. Dengan demikian suatu teori tentang kemajuan hanya mungkin sebagai teori dialektis, artinya memahami kemajuan dengan memahami kemunduran.

Normalisasi persepsi menjadi hal penting dalam memaknai adanya gamelan jawa karena wujud rasionalisasi dapat membuat hilangnya unsur orisinalitas gamelan. Gamelan jawa sebenarnya memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan keunikan yang mungkin saja (saya katakan mungkin saja karena ini dari persepsi saya) tidak dapat di ubah oleh rasionalisasi apapun yaitu relativitas keindahan itu sendiri.

Hal lainnya yang berhubungan dengan rasionalisasi dan normalisasi persepsi nilai yang terkandung dalam pementasan gamelan jawa menjadi sebuah relativitas pada individu. Artinya tergantung kebutuhan individu untuk melakukan rasionalisasi dari persepsi mana ia melihat gamelan jawa. Kita tidak perlu meributkan mengenai adat atau budaya apa gamelan sehingga melahirkan banyak perdebatan seputar nilai atau sebenarnya Einstein pun lupa mancantumkan persepsi gamelan sebagai salah satu postulat relativitasnya? Entah juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar